Sabtu, 21 Juli 2007

CHEATING

BAB I

Pendahuluan

1. Latar Belakang
Berpikir kreatif merupakan salah satu cara yang dianjurkan. Dengan cara itu seseorang akan mampu melihat persoalan dari banyak perspektif. Pasalnya, seorang pemikir kreatif akan menghasilkan lebih banyak alternatif untuk memecahkan suatu masalah. Menurut J.C. Coleman dan C.L. Hammen (1974), berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru - dalam konsep, pengertian, penemuan, karya seni. Sedangkan D.W. Mckinnon (1962) menyatakan, selain menghasilkan sesuatu yang baru, seseorang baru bisa dikatakan berpikir secara kreatif apabila memenuhi dua persyaratan.
Pertama, sesuatu yang dihasilkannya harus dapat memecahkan persoalan secara realistis. Misalnya, untuk mengatasi kemacetan di ibukota, bisa saja seorang walikota mempunyai gagasan untuk membuat jalan raya di bawah tanah. Memang, gagasan itu baru, tetapi untuk ukuran Indonesia solusi itu tidak realistis. Dalam kasus itu, sang walikota belum dapat dikatakan berpikir secara kreatif.
Kedua, hasil pemikirannya harus merupakan upaya mempertahankan suatu pengertian atau pengetahuan yang murni. Dengan kata lain, pemikirannya harus murni berasal dari pengetahuan atau pengertiannya sendiri, bukan jiplakan atau tiruan. Misalnya, seorang perancang busana mampu menciptakan rancangannya yang unik dan mempesona. Perancang itu dapat disebut kreatif kalau rancangan itu memang murni idenya, bukan mencuri karya atau gagasan orang lain seperti halnya menyontek.
Berdasarkan pengalaman dan dari pengamatan penulis ketika sedang mengawas ujian pada beberapa sekolah di Bontang , bahwa praktik menyontek atau cheating adalah salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari-hari, tetapi jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan kita di Indonesia. Kurangnya pembahasan mengenai cheating mungkin disebabkan karena kebanyakan pakar menganggap persoalan ini sebagai sesuatu yang sifatnya sepele, padahal masalah cheating sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat mendasar. Demikian mendasarnya, sehingga pelaku cheating dalam ujian penerimaan pegawai pada zaman kerajaan Cina kuno dapat diganjar dengan hukuman mati. Di Amerika Serikat studi tentang cheating di penghujung abad 20 telah banyak dilakukan seperti oleh Bower (1964), Dientsbier (1971), Monte (1980), Antion (1983), Haines (1986), dan Dayton (1987). Dari sini tampak bahwa masalah cheating sesungguhnya adalah isu lama yang tetap aktual dibicarakan dalam sistem persekolahan di seluruh dunia. Dalam konteks kehidupan bangsa saat ini, tidak jarang kita mendengar asumsi dari masyarakat yang menyatakan bahwa koruptor-koruptor besar, penipu-penipu ulung dan penjahat krah putih (white crimers) yang marak disorot saat ini adalah penyontek-penyontek berat ketika mereka masih berada di bangku sekolah. Atau sebaliknya, mereka yang terbiasa menyontek di sekolah, memiliki potensi untuk menjadi koruptor, penipu, dan penjahat krah putih dalam masyarakat nanti. Meskipun asumsi seperti di atas bersifat sangat spekulatif dan masih jauh dari nalar ilmiah, namun paling tidak pernyataan itu dapat menggelitik kepedulian mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan terhadap masalah cheating di sekolah. Sekedar ilustrasi, bahwa pada tahun 80-an di Amerika Serikat masalah cheating pernah menjadi isu yang hangat dibahas oleh kalangan politisi di negara bagian California karena ternyata dampak cheating telah merambah kepentingan publik secara serius. Mengapa para pendidik dan para peneliti begitu tertarik mempersoalkan masalah cheating? Dalam menjawab pertanyaan ini paling tidak terdapat dua alasan yang mendasar yaitu: (a) Cheating jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar (fundamental) pendidikan; (b) Cheating dalam segala bentuknya membawa resiko negatif terhadap siswa, sekolah, dan masyarakat.Tulisan ini bertujuan:(a)memberi informasi tentang pengertian cheating, (b) mengungkapkan alasan-alasan seseorang melakukan cheating, (c) memahami cheating dari tinjauan moral dan tinjauan psikologis, (d) memberikan rekomendasi tentang cara-cara penanggulangan cheating di sekolah. Pada akhir tulisan disarankan kiranya ada penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan dampak cheating terhadap kehidupan masyarakat, sehingga cheating tidak saja menjadi isu yang mengusik perhatian kalangan pendidik tetapi akan dapat pula melibatkan komponen masyarakat yang lain secara lebih luas seperti yang terjadi di Amerika Serikat, sehingga pada gilirannya dapat lebih memperbaiki strategi pendidikan kita ke depan. Penggunaan kata cheating dipilih dalam tulisan ini dan bukannya kata ?menyontek", karena kata ini lebih dapat mengakomodir seluruh bentuk kecurangan dalam aktivitas ujian.

BAB II
Pembahasan
2. Kajian Literatur2.1 Cheating dan Faktor Penyebabnya2.1.1 Pengertian Cheating
Bower (1964) mendefinisikan cheating sebagai ?manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure),? maksudnya cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Deighton (1971) menyatakan ?Cheating is attempt an individuas makes to attain success by unfair methods.? Maksudnya, cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur). Dalam konteks pendidikan atau sekolah, beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori cheating antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau tugas penulisan paper dan take home test. Dalam perkembangan mutakhir cheating dapat ditemukan dalam bentuk perjokian seperti kasus yang sering terjadi dalam UMPTN/SMPTN, memberi lilin atau pelumas kepada lembaran jawaban komputer atau menebarkan atom magnit dengan maksud agar mesin scanner komputer dapat terkecoh ketika membaca lembar jawaban sehingga gagal mendeteksi jawaban yang salah atau menganggap semua jawaban benar, dan banyak lagi cara-cara yang sifatnya spekulatif maupun rasional. Dalam tingkatan yang lebih intelek, sering kita dengar plagiat karya ilmiah seperti dalam wujud membajak hasil penelitian orang lain, menyalin skripsi, tes, ataupun desertasi orang lain dan mengajukannya dalam ujian sebagai karyanya sendiri. Ternyata praktik cheating banyak macamnya, dimulai dari bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang canggih. Dari sesuatu yang sangat prohibited sampai pada bentuk yang cenderung premissible. Teknik cheating tampaknya mengikuti pula perkembangan teknologi, artinya semakin canggih teknologi yang dilibatkan dalam pendidikan semakin canggih pula bentuk cheating yang bakal menyertainya. Bervariasi dan beragamnya bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai cheating maka sekilas dapat diduga bahwa hampir semua pelajar pernah melakukan cheating meskipun mungkin wujudnya sangat sederhana dan sudah dalam kategori permisseble atau dapat ditolerir. Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa apapun bentuknya, dengan cara sederhana ataupun dengan cara yang canggih, dari sesuatu yang sangat tercela sampai kepada yang mungkin dapat ditolerir, cheating tetap dianggap oleh masyarakat umum sebagai perbuatan ketidakjujuran, perbuatan curang yang bertentangan dengan moral dan etika serta tercela untuk dilakukan oleh seseorang yang terpelajar. Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan cheating dalam tulisan ini adalah segala perbuatan atau trik-trik yang tidak jujur, perilaku tidak terpuji atau perbuatan curang yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik terutama yang terkait dengan evaluasi/ujian hasil belajar.
2.1.2. Kapan Cheating Mulai Terjadi?Pertanyaan di atas sama dengan pertanyaan yang mengatakan kapanmanusia mulai berbohong, atau kapan manusia mulai mengenal perbuatan curang? Hal ini dapat dipahami karena sesungguhnya cheating adalah salah satu bentuk dari ketidakjujuran dan perbuatan curang dari manusia itu sendiri. Apabila pertanyaan tersebut dikembangkan menjadi sejak kapan cheating dalam dunia pendidikan mulai dilakukan orang? Jawabannya dapat dipastikan bahwa praktik cheating adalah setua dengan usia pelaksanaan penilaian pendidikan. Jika penilaian hasil pendidikan telah dilakukan sejak manusia melaksanakan usaha mendidik, maka sejak itu pulalah perbuatan cheating telah ada. Dalam sejarah Cina kuno tepatnya pada zaman pemerintahan Kaisar Wen Ti sekitar Tahun 77 M telah diberlakukan aturan ujian yang sangat ketat bagi peserta ujian yang bermaksud untuk menjadi pegawai kerajaan. Terdapat aturan yang menyatakan bahwa orang yang kedapatan melakukan cheating dalam ujian tersebut diancam hukuman mati. Informasi ini selain mengindikasikan bahwa cheating telah ada sejak lama juga cheating bukanlah masalah yang sepele seperti yang didugakan kebanyakan orang selama ini.2.1.3 Alasan melakukan cheating
Studi Antion dan Michel (1983) terhadap 148 orang mahasiswa di Los Angeles menemukan bahwa kombinasi dari faktor kognitif, afektif, personal, dan demografi lebih signifikan sebagai prediktor perbuatan cheating dari pada jika faktor tersebut berdiri sendiri. Dengan kata lain perbuatan cheating lebih dipengaruhi oleh kombinasi variabel-variabel dari pada variabel tunggal (single variable). Smith (1971) menemukan bahwa keputusan moral (moral decision) dan motivasi untuk berprestasi/ketakutan untuk gagal menjadi alasan yang signifikan seseorang untuk melakukan cheating. Dengan pengelompokan (1) Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya. (2) Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks. (3) Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai. (4) Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat. (5) Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal. (6) Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius, (7) Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.(8) Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan. (9) Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat. (10) Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal. (11) Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius. (12) Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara. (13) Yakin bahwa guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui guru yang bersangkutan. Selain keterangan mengenai alasan dilakukannya cheating, pada umumnya responden menganggap bahwa cheating itu adalah perbuatan yang tercela, melanggar moral dan etika. Meskipun demikian, dari hasil wawancara didapatkan pula pengakuan bahwa rata-rata mereka telah pernah melakukan cheating atau setidak-tidaknya bersikap permisif terhadap cheating. Lewis R. Aiken (1986) melaporkan bahwa kecenderungan melakukan cheating di Amerika Serikat meningkat sehingga tidak saja memprihatinkan dunia pendidikan tetapi juga telah menjadi bagian keprihatinan kalangan politisi. Dikatakan bahwa kasus cheating tidak hanya melibatkan siswa sebagai individu pelaku tetapi cheating disinyalir telah dilakukan oleh institusi pendidikan dengan melibatkan pejabat-pejabat pendidikan seperti guru, superintendant, school districtst dll. Pada penelitian Aiken yang ditujukan kepada kasus CAP dan CTBS (California Achievement Program dan California Test for Basic Skills), suatu ujian yang diselenggarakan oleh lembaga independen ditemukan bahwa alasan siswa melakukan cheating karena adanya tekanan yang dirasakan oleh siswa dari orang tuanya, kelompoknya, guru, dan diri mereka sendiri untuk mendapatkan nilai tinggi. Selanjutnya, alasan bagi pejabat pendidikan untuk membantu siswa dalam mengerjakan tes atau mengubah jawaban yang salah dengan jawaban yang benar sebelum lembaran jawaban diserahkan kepada lembaga penyelenggara, adalah karena hal itu menyangkut reputasi sekolah, menyangkut anggaran pendidikan yang akan dibayar oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena hasil tes tidak saja mengevaluasi kemampuan individual siswa tetapi juga mengevaluasi reputasi dan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan lainnya yang memiliki akuntabilitas langsung kepada masyarakat, politisi, dan kalangan bisnis. 2.2 Cheating ditinjau dari Aspek Psikologis dan Aspek Moral2.2.1 Aspek Psikologis
Dalam kajian psikologi tidak ditemukan pembahasan yang secara khusus membicarakan tentang cheating, tetapi dapat disepakati bahwa cheating adalah salah satu wujud dari perilaku, bahkan salah satu bentuk ekspressi dari kepribadian seseorang. Burt, seperti dikutip oleh Sumadi (1995), mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh pada tingkah laku manusia, yaitu faktor G (General), yakni dasar yang dibawa sejak lahir, faktor S (specific) yang dibentuk oleh pendidikan dan faktor C (Common/Group) yang didapatkan dari pengaruh kelompok. Jika dihubungkan dengan perbuatan cheating, maka aktivitas cheating itu adalah merupakan pengaruh dari faktor C. Lebih lanjut dikatakan bahwa Faktor C lebih luas atau lebih kuat daripada faktor S. Dengan demikian, perilaku cheating banyak diakibatkan oleh pengaruh kelompok dimana orang cenderung berani melakukan karena melihat orang lain di kelompoknya juga melakukan. Apabila kecenderungan ini berlangsung secara terus-menerus, maka cheating akan menjadi kebiasaan seseorang, yang akan ditransfer tidak hanya pada kegiatan sekolah lainnya tetapi kepada kegiatan kemasyarakatan pada umumnya berdasarkan prinsip transfer of learning. Dikaitkan dengan teori Sigmund Freud seperti dikutip oleh Atkinson (1996), didapatkan penjelasan bahwa perilaku cheating adalah tidak lain dari hasil pertarungan antara Das Ich melawan Das Uber Ich, yaitu pertarungan antara dorongan-dorongan yang realistis rasional dan logis melawan prinsip-prinsip moralitas dan pencarian kesempurnaan. Lebih jauh ditegaskan bahwa dalam pertarungan antara Das Es, Das Ich, dan Das Uber Ich akan timbul ketegangan. Ketegangan yang dihadapi akan menuntut perlunya ada cara-cara untuk mengatasi, misalnya dengan cara indentifikasi atau
memindahkan objek (object displacement) atau dengan mekanisme pertahanan diri (self mechanism). Dari sinilah terjadi dinamika kepribadian dan perkembangan kepribadian. Apabila cara-cara mengatasi melalui object displacement dan self mechanism tidak proporsional maka akan terjadi gangguan psikis. Berdasarkan teori ini, dapat disimpulkan bahwa seorang cheater cenderung menghadapi ketegangan yang tinggi yang pada gilirannya akan mengakibatkan terjadinya gangguan syaraf atau psikis. Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, karena teori kriminal mengatakan bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
2.2.2 Aspek Moral
Sutan Zanti Arbi (1988) mengutip beberapa pendapat tentang sifat dasar manusia sebagai berikut. St. Agustinus merumuskan doktrin bahwa kejatuhan Adam dalam dosa telah menempatkan kejahatan pada sifat dasar manusia dan sejak itu setiap anak yang lahir ke dalam dunia mempunyai dosa asal yang tertanam padanya. Jauh sebelum itu, Kong-Fu-Tse dan Mencius 372- 289 SM, seperti dikutip oleh Arbi (1988), mengatakan bahwa manusia asal mulanya dan secara esensial adalah baik dan menjadi rusak oleh masyarakatnya. Dijelaskan oleh Arbi bahwa Kao yang sezaman dengan Kong-Fu-Tse mengemukakan pendapat bahwa manusia menurut sifat dasarnya tidak baik tetapi juga tidak jahat melainkan tanpa ?kecenderungan.? Seperti air ia dapat dialirkan ke timur dan ke barat, begitu pula sifat manusia dapat dilatih ke arah yang baik ataupun ke arah yang jahat. Pandangan Kao tampak lebih dekat kepada kebenaran dan pandangan ilmiah yang menyatakan bahwa ?Men is not merely good nor solely bad but it is exactly can be made good?.Salah satu yang membedakan manusia dengan hewan ialah karena manusia itu adalah mahluk susila. Sumadi (1995) mengemukakan adanya perasaan kesusilaan yang tidak lain dari perasaan tentang baik dan buruk yang dikaitkan dengan norma-norma tertentu. Seseorang akan merasakan puas apabila telah melakukan hal yang baik, sebaliknya seseorang akan merasakan penyesalan apabila telah melakukan hal tidak baik. George Kelly dan Freud seperti dikutip oleh Hjelle (1998) mengatakan: ?We experience a guilt when ever we behave in ways that depart from our sense of who we are.? Freud mengatakan: ?We experience moral anxiety when ever we act in ways that violate our sense of what is right and wrong.? Atkinson (1996) mengutip teori Kohlberg tentang moral, dimana dijelaskan bahwa Kohlberg memandang anak-anak sebagai ahli filsafat moral yang membentuk standar moral mereka sendiri sebagai hasil interaksi kognitif mereka dengan lingkungan pergaulannya. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pertimbangan moral dapat berubah karena adanya contoh yang dilihat. Lebih jauh dijelaskan tentang adanya korelasi yang signifikan antara penalaran moral dengan perilaku moral, namun dengan mengutip suatu hasil penelitian yang terbaru yang mempersoalkan antara lain apakah seorang anak yang telah memiliki penalaran moral akan berlaku curang dalam suatu tes, dan ternyata menemukan korelasi yang rendah.Atkinson selanjutnya menegaskan bahwa kita sering mengetahui bagaimana sebaiknya bertindak tetapi mungkin tidak melakukannya jika kepentingan diri sendiri ikut terlibat. Perilaku moral tergantung pada sejumlah factor
Kemampuan yaitu:(a) berpikir tentang dilema moral,(b) mempertimbangkan akibat jangka panjang dari setiap tindakan, dan(c) merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.Dari uraian aspek moral ini dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki naluri dan kemampuan membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang salah dan yang benar, dan oleh karenanya manusia memiliki potensi yang equal antara berbuat baik dengan berbuat jahat.Melalui kemampuan kognitifnya manusia dapat melakukan penalaran moral, namun terbukti bahwa penalaran moral mempunyai korelasi yang rendah dengan perilaku moral. Terkait dengan masalah cheating, dapat diinterpretasikan bahwa mereka yang melakukan praktek cheating bukanlah karena naluri mereka telah tumpul dalam membedakan bahwa cheating itu salah atau benar, bukan pula karena nalar moral mereka tidak tahu bahwa itu baik atau buruk, tetapi cheater berada pada kondisi yang menuntut dirinya untuk melakukan cheating. Isu moral memang bukan sekedar faktor pengetahuan dan penalaran yang mampu membedakan baik dengan buruk tetapi lebih erat terkait dengan faktor kondisional.Faktor kondisional adalah suatu keadaan yang memungkinkan, mengundang, dan bahkan memfasilitasi seseorang untuk berbuat baik atau berbuat jahat. Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan ujian, faktor kondisional antara lain mencakup materi ujian, pengawasan, instrumen evaluasi, cara penilaian, objektivitas, sikap atau cara penilai dsb.
3. Cara Penanggulangan CheatingDari uraian dan kajian literatur tersebut di atas dapat diidentifikasi bahwa ada empat faktor yang menjadi penyebab cheating yaitu: (1) Faktor individual atau pribadi dari cheater, (2) faktor lingkungan atau pengaruh kelompok, (3) faktor sistem evaluasi dan (4) faktor guru atau penilai. Berkenaan dengan asas moral di atas, dapat ditegaskan bahwa yang terpenting dalam pendidikan moral adalah bagaimana menciptakan faktor kondisional yang dapat mengundang dan memfasilitasi seseorang untuk selalu berbuat secara moral dalam ujian (tidak melakukan cheating) maka caranya adalah mengkondisikan keempat faktor di atas ke arah yang mendukung, yaitu sebagai berikut: (1) faktor pribadi dari cheater (a) Bangkitkan rasa percaya diri (b) Arahkan self consept mereka ke arah yang lebih proporsional (c) Biasakan mereka berpikir lebih realistis dan tidak ambisius (d) Tumbuhkan kesadaran hati nurani (Das Uber Ich) yang mampu mengontrol naluri beserta desakan logis rasionalitas jangka pendek yang bermuara kepada perilakunya. (2) Faktor Lingkungan dan KelompokCiptakan kesadaran disiplin dan kode etik kelompok yang sarat dengan pertimbangan moral (3) Faktor Sistem Evaluasi (a) Buat instrumen evaluasi yang valid dan reliable (yang tepat dan tetap) (b) Terapkan cara pemberian skor yang benar-benar objektif (c) Lakukan pengawasan yang ketat (d) Bentuk soal disesuaikan dengan perkembangan kematangan peserta didik dan dengan mempertimbangkan prinsip paedagogy serta prinsip andragogy.(4) Faktor Guru/ penilai
(a) Berlaku objektif dan terbuka dalam pemberian nilai.
(b) Bersikap rasional dan tidak melakukan cheating dalam memberikan tugas ujian/tes.
(c) Tunjukkan keteladanan dalam perilaku moral.
(d) Berikan umpan balik atas setiap penugasan.

4. Simpulan dan Saran

4.1. Simpulan
Cheating adalah salah satu wujud perilaku dan ekspresi mental seseorang. Ia bukan merupakan sifat bawaan individu, tetapi sesuatu yang lebih merupakan hasil belajar/pengaruh yang didapatkan seseorang dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, cheating lebih sarat dengan muatan aspek moral daripada muatan aspek psikologis. Dalam batas-batas tertentu cheating dapat dipahami sebagai sesuatu fenomena yang manusiawi, artinya perbuatan cheating bisa terjadi pada setiap orang sehingga asumsi di depan yang menyatakan bahwa ada korelasi antara perilaku cheating di sekolah dengan perilaku kejahatan seperti korupsi di masyarakat adalah terlalu spekulatif dan sulit dibuktikan secara nalar ilmiah. Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa cheating bisa membawa dampak negatif baik kepada individu, maupun bagi masyarakat. Dampak negatif bagi individu akan terjadi apabila praktek cheating dilakukan secara kontinyu sehingga menjurus menjadi bagian kepribadian seseorang. Selanjutnya, dampak negatif bagi masyarakat akan terjadi apabila masyarakat telah menjadi terlalu permisif terhadap praktek cheating sehingga akan menjadi bagian dari kebudayaan, dimana nilai-nilai moral akan terkaburkan dalam setiap aspek kehidupan dan pranata sosial. Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya cheating sangat ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang membuka peluang, mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku cheating. Seseorang yang memiliki nalar moral, yang tahu bahwa cheating adalah perbuatan tercela, sangat mungkin akan melakukannya apabila ia dihadapkan kepada kondisi yang memaksa. Mencegah cheating tidaklah cukup dengan sekedar mengintervensi aspek kognitif seseorang, akan tetapi yang paling penting adalah penciptaan kondisi positif pada setiap faktor yang menjadi sumber terjadinya cheating, yaitu pada faktor siswa/mahasiwa, pada lingkungan, pada sistem evaluasi dan pada diri guru/dosen. Oleh karena setiap orang berpotensi untuk melakukan cheating dan terdapatnya gejala kecenderungan semakin maraknya praktek cheating di dunia pendidikan, maka perlu segera dilakukan review atau reformulasi sistem atau cara pengujian, penyelenggaraan tes yang berlangsung selama ini baik yang diselenggarakan secara massal oleh suatu badan atau kepanitiaan maupun yang diselenggarakan secara individual oleh setiap guru atau dosen.
4.2 Saran
Untuk menangkal semakin maraknya praktek cheating di sekolah dan berkembangnya cheating menjadi penyakit masyarakat maka disarankan hal-hal sebagai berikut.(1) Agar orang tua siswa/mahasiswa, masyarakat, dan segenap warga institusi pendidikan menyadari masalah cheating sebagai masalah yang serius. Mereka harus menyikapi issu ini sebagai sesuatu yang mendasar sehingga dapat bekerja sama untuk menciptakan suatu suasana kondusif di sekolah di mana kematangan mental para siswa dapat lebih ditingkatkan dan komitmen akademik dapat dipacu dan pada saat yang sama perbuatan ketidakjujuran di sekolah dapat dikurangi.
(2) Secara khusus kepada siswa harus ditanamkan dalam penalaran dan penghayatannya bahwa cheating dengan pelbagai bentuknya adalah masalah moral. Melakukan cheating adalah pembangkangan terhadap nilai- nilai moral yang memalukan.(3) Agar issu cheating dapat menarik perhatian dan menggugah kepedulian masyarakat luas dan tidak hanya menjadi wacana yang terbatas pada kalangan pendidik, diperlukan suatu studi yang lebih serius dan menyeluruh yang dapat mengungkapkan secara lebih jelas dampak-dampak yang bisa diakibatkan oleh praktek cheating baik kepada individu pelaku maupun kepada kehidupan sosial kemasyarakatan secara keseluruhan.

Pustaka Acuan
Aiken, R. Lewis. 1994. Psychological Testing and Assesment. Bostom: Allyn and Bacon.
Antion, David L. and Michel, William B. 1983. Short Term Predictive Validity of Demografic, Affective, Personal and Cognitive Variables in Relation to Two Criterion Measures of Cheating Behaviors.
Educational and Social Psychology Measurement. California. Arbi, Sutan Zanti. 1988.
Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan, Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Tenaga Kependidikan. Atkinson, Rita L, Richard C. Atkinson dan Ernest R. Hildgard. 1996.
Pengantar Psikologi, Terjemahan NurjannahTaufiq dan Agus Dharma. Jakarta: Penerbit Erlangga. Bowers, William J. 1964. Student Dishonesty and Its Control in College,
Colombia University Bound. New York: McMillan. Deighton, Lee C. 1971.

The Encyclopedia of Education. New York: McMillan. Hjelle, A. Larry, Ziegler, J. Danield. 1998. Personality

Theories. New York: Mc. Grow Hill. Smith, Charles P. Cs. 1971. Moral Decision Making: Cheating on Examination, Psychological Association Annual Meeting. New York. Suryabrata

Sumadi. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar: